Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar. Letusan vulkanik terbesar di muka bumi dalam kurun waktu dua juta tahun terjadi di Indonesia, yaitu diperkirakan tepatnya 74.000 tahun yang lalu.
Temuan baru tentang erupsi kolosal tersebut didapat para peneliti dari Niels Bohr Institute. Peneliti mengaitkan letusan dahsyat itu dengan iklim globak dan efeknya pada manusia purba. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal sains, Climate of the Past. Amuk toba menyisakan kawah seluas 50 kilo meter, yang kini menjadi Danau Toba. "Kami sekarang telah melacak jejak hujan asam dalam lapusan es di Greenland dan Antartika," kata ilmuwan Anders Svensson dari Centre for Ice and Climate, Niels Bohrd Institute, University of Copenhagen. Temuan itu membuktikan dugaan para ilmuwan bahwa efek Toba sampai ke dua wilayah itu.
Toba meletus dan mengeluarkan tiga kali abu vulkanik sebanyak letusan Yellowstone (Lava Creek, 630.000 tahun yang lalu dan sekitar 12 persen lebih dari letusan terbesar Yellowstone (Huckleberry Ridge, 1,8 juta tahun yang lalu. Kala meletus, Gunung Toba memuntahkan 2.500 kilometer kubik lava. Setara dua kali volume Gunung Everest. Erupsinya 5.000 kali lebih mengerikan dari letusan Gunung St. Helens pada 1980 di Amerika Serikat.
Awan abu vulkanik dan asam sulfat menyembur ke atmosfer, terjebak di lapisan stratosfer bumi, dari sana ia menyebar ke seluruh dunia, di belahan bumi utara dan selatan. Lalu turun ke bumi dalam bentuk hujan asam.
Seperti dikutip LiveScience, Inti es menyediakan cukup bukti tentang bagaimana iklim bumi secara drastis berubah selama bertahun-tahun pasca erupsi. Sebelumnya, ada banyak spekulasi bagaimana letusan besar gunung berapi bisa mempengaruhi iklim. Salah satunya, awan raksasa berisi partikel belerang yang terlempar ke stratosfer akan bertindak seperti selimut, yang melindungi bumi dari radiasi matahari. Sehingga, planet manusia ini bisa menjadi lebih dingin.
Pertanyaannya, seberapa banyak dan berapa lama? Modelling yang dilakukan para ahli menemukan bahwa letusan dahsyat gunung berapi bisa menurunkan suhu global hingga 10 derajat selama beberapa dekade.
Namun, inti es yang ditemukan ahli baru-baru ini menunjukkan pendinginan itu pendek dan tidak konsisten di seluruh dunia
"Dalam kurva temperatur dari inti es, kami bisa mengetahui tidak ada pendinginan global yang diakibatkan letusan Toba. Ada fluktuasi pendinginan dan besaran suhu global di belahan bumi utara. Namun, di belahan bumi selatan justru lebih hangat. Jadi, pendinginan global hanya terjadi dalam waktu singkat," kata Anders Svensson.
Bukti Ilmiah
Pada tahun 1939, geolog asal Belanda, Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba yang panjangnya 1-- kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung, Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (rhyolite) yang seusia dengan batuin Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Telik Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelem juga Aldiss dan Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan maha dahsyat. Namun penelitian lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.
Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. JAdi, masih banyak misteri di balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih gelar doktor dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.
Berada di Tiga Lempeng Tektonik
Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.
Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.
Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau Toba merupakan kaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang pertama 840 ribu tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.
Letusan
Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali:
- Letusan pertama terjadi sekitar 800 ribu tahun yang lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
- Letusan kedua memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 ribu tahun yang lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba, tepatnya di antara daerah Silalahi dengan Haranggaol.
- Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang, dengan Pulau Samosir di tenganhnya.
Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano biasa rata-rata kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolcano dapat mencapai puluhan kilometer.
Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.
Konsekuensi Untuk Manusia
Meski demikian, erupsi Toba punya konsekuensi besar bagi alam, lingkungan, dan manusia yang tinggal di Asia kala itu, di mana lapisan abu dari erupsi ditemukan.
Letusan Toba terjadi di saat yang menentukan dalam sejarah manusia, sekitar masa ketika nenek moyang kita, Homo sapiens melakukan eksodus massal, dari Afrika ke Asia. Para peneliti yakin betul, orang yang kala itu tinggal sejauh 2.000 kilometer di timur India dipengaruhi letusan tersebut, yang berkecamuk selama berminggu-minggu.
Namun, sejumlah arkeolog menentang ide konsekuensi fatal erupsi Toba pada penduduk yang tinggal di Asia yang terkena dampak letusan. Spekulasi berkisar dari tidak ada efek sama sekali pada kehidupan manusia kala itu hingga dugaan pemusnahan total populasi dalam wilayah yang luas.
Tak ada cara untuk memastikannya, sebab, material dari periode itu terlalu tua untuk diketahui usianya menggunakan metode carbon-14. Oleh karenanya lapisan abu Toba menjadi referensi penting.
"Lokasi baru yang tepat letusan Toba pada inti es akan menempatkan temuan arkeologis pada konteks iklim, yang membantu menjelaskan periode kritis dalam sejarah manusia."
Beberapa peneliti menduga bahwa letusan Super Toba dan global dingin yang dipicu mungkin menjelaskan misteri dalam genom manusia. Gen kita menunjukkan kita semua berasal dari beberapa ribu orang hanya puluhan ribu tahun yang lalu, bukan dari garis keturunan, jauh lebih tua lebih besar - sebagai bukti fosil bersaksi. Keduanya bisa menjadi benar jika hanya kelompok kecil dari manusia selamat tahun dingin setelah letusan Toba.
Sedangkan nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi ke luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan dahsyat Gunung Toba ini.
Apabila dikaitkan dengan letusan Toba, temuan itu juga menunjukkan bahwa nenek moyang kita ternyata mampu bertahan dari bencana dahsyat yang berpotensi memusnahkan kehidupan.
Skenario survival tersebut didukung bukti dari rekam jejak DNA pada populasi di kawasan Wallacea yang menunjukkan campuran gen dengan populasi dari kawasan Sunda Besar (yang sekarang dikenal sebagai kawasan Asia Tenggara).
Selain itu, ada temuan fosil dan peninggalan manusia purba di Gua Niah, Sarawak. Dari umurnya, temuan Niah mengindikasikan bahwa manusia tidak musnah karena letusan Toba.
Sedangkan nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi ke luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan dahsyat Gunung Toba ini.
Apabila dikaitkan dengan letusan Toba, temuan itu juga menunjukkan bahwa nenek moyang kita ternyata mampu bertahan dari bencana dahsyat yang berpotensi memusnahkan kehidupan.
Skenario survival tersebut didukung bukti dari rekam jejak DNA pada populasi di kawasan Wallacea yang menunjukkan campuran gen dengan populasi dari kawasan Sunda Besar (yang sekarang dikenal sebagai kawasan Asia Tenggara).
Selain itu, ada temuan fosil dan peninggalan manusia purba di Gua Niah, Sarawak. Dari umurnya, temuan Niah mengindikasikan bahwa manusia tidak musnah karena letusan Toba.
Kronologi Letusan Gunung Tambora
Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, Indonesia.
Letusan terakhir : 10 April 1815.
Muntahan magma : 100 km³
Lepasan abu (kubik) : 400 km³ debu ke angkasa.
Tinggi abu : 44 kilometer dari permukaan tanah.
Lontaran abu : 1300 km
Radius suara letusan : 2600 kilometer
Endapan aliran piroklastik: 7-20 km
Tsunami sepanjang pantai: Sejauh 1200 kilometer, tinggi 1-4 meter, di Maluku tsunami hingga 2 meter.
Korban letusan langsung: 117.000 orang tewas.
Kerajaan yang lenyap akibat letusan: Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Sanggar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berkomentar!